Diragukan Prabowo dan BPN, Begini Cara Lembaga Survei Lakukan Quick Count

20 April 2019, 23:59:11 WIB

  • JawaPos.com – Sejak Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan timnya teriak soal validitas hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei, publik dibuat bertanya-tanya, ‘Apa sih quick count itu? Bagaimana lembaga survei melakukan proses hitung cepat, sehingga didapatkan angka demikian?’

    Secara sederhana, quick count atau dalam Bahasa berarti hitung cepat merupakan kegiatan ilmiah, terutama bertumpu pada ilmu statistika, yang bertujuan untuk memprediksi hasil pemilu. Nah, salah satu lembaga survei yang melakukan kegiatan ilmiah ini yaitu Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

    Kepada JawaPos.com, Direktur SMRC Sirojudin Abbas menuturkan, kegiatan ini diharapkan dapat menekan spekulasi akibat ketidakpastian hasil pemilu. Quick count juga berfungsi sebagai instrumen pembanding hasil rekapitulasi suara yang akan dilakukan oleh penyelenggara pemilu.

    “Kalau tidak ada quick count, kita tidak punya alat untuk mengecek kualitas kerja KPU yang dibiayai mahal oleh rakyat,” katanya, dihubungi Sabtu (20/4).

    Namanya kegiatan ilmiah, pastilah proses hitung cepat tidak dilakukan asal-asalan, alias harus bisa dipertanggungjawabkan baik proses maupun hasilnya. Pada pemilu serentak 2019 ini, populasi quick count SMRC adalah seluruh suara sah yang tersebar di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) secara nasional, yang sebanyak 809.497 TPS.

    Adapun sampel dipilih dengan menggunakan metode stratified systematic cluster random sampling dari populasi tersebut. Metode itu dilakukan melalui dua prosedur.

    Pertama, stratifikasi. TPS dikelompokkan menurut wilayah daerah pemilihan (dapil) DPR RI dan status perdesaan-perkotaan. Stratifikasi dilakukan guna menekan error, yakni dengan membuat sampel terdistribusi proporsional pada setiap stratum (irisan dapil dan wilauah perdesaan-perkotaan).

    Kedua, systematic cluster random sampling. Di masing-masing stratum tadi, dipilihlah TPS (sebagai cluster) secara systematic random samplingdengan jumlah proporsional.

    “Total dirandom 6.000 TPS. Seluruh suara sah di TPS terpilih menjadi sampel quick count,” lanjut Sirojudin.

    Kemudian, dari 6.000 TPS tadi, sebanyak 93 TPS tidak bisa dijangkau oleh relawan quick count. Mayoritas adalah yang berada di wilayah Indonesia timur, terutama di Papua.

    Dengan demikian, hitung cepat dilakukan di 5.907 TPS. Dari data sementara yang masuk, quick countuntuk pilpres dilakukan di 5.897 TPS (99,83 persen). Sementara untuk pileg dilakukan di 5.838 TPS (98,83 persen).

    SMRC mempunyai alasan memilih sampel TPS cukup banyak, hingga hampir 6.000 TPS. Sirojudin menuturkan, mereka ingin menekan error hingga di bawah satu persen.

    “Dari hasil simulasi diketahui bahwa quick count 6.000 TPS bisa menghasilkan akurasi yang sangat tinggi, dengan error lebih kurang hanya 0,47 persen,” ungkapnya.

    Alur Data Quick Count
    Setelah ditentukan TPS yang menjadi sampel hitung cepat, maka ditugaskan masing-masing satu orang di TPS tersebut. Selanjutnya, relawan quick count tadi mencatat lalu mengirim data hasil suara di TPS lewat aplikasi pengiriman data.

    Di Data Center LSI-SMRC, data tersebut kemudian divalidasi, dihitung, lalu ditransfer ke media baik TV, media online, maupun lainnya. Begitulah hasil quick count disiarkan melalui media dengan angka yang terus bergerak sesuai data yang sudah masuk.

    Kontrol dan Validasi Data
    Sirojudin juga menjelaskan kontrol kualitas. Misalnya memberikan pelatihan relawan yang dilakukan secara intensif beberapa hari sebelum dilaksanakannya pemilu 2019.

    Selanjutnya melakukan simulasi bersama. Itu dilakukan selama dua hari pada H-2 dan H-1 pemilu 2019. Hal itu dilakukan untuk memastikan proses quick count dapat berjalan dengan baik.

    “Pada hari-H petugas di data center menelepon relawan untuk memastikan relawan benar-benar bertugas di TPS-TPS yang telah ditentukan,” jatanya.

    Mengenai validasi, lembaga yang bernaung di bawah Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) ini memastikan keabsahan mulai dari relawan atau pengirimnya, hingga isi data itu sendiri.

    Nomor hand phone pengirim terdaftar sebagai nomor hand phone relawan. Kemudian, isi data meliputi suara calon atau partai, suara tidak sah, dan informasi lain.

    “Lembar catat hasil penghitungan suara di setiap TPS quick count juga harus ditandatangani ketua TPS (KPPS) bersangkutan,” tuturnya.

    Hingga Jumat (19/4) pukul 04.44, data masuk dalam quick count SMRC mencapai 99,83 persen. Dengan margin of error plus minus 0,5 persen, maka perolehan suara Jokowi-Ma’ruf Amin ada di kisaran 54,33-55,33 persen. Sedangkan, Prabowo-Sandi di kisaran 44,67-45,67 persen.

    Sumber: https://www.jawapos.com/nasional/pemilihan/20/04/2019/diragukan-prabowo-dan-bpn-begini-cara-lembaga-survei-lakukan-quick-count/

    Editor : Estu Suryowati

    Reporter : Gunawan Wibisono

    Anu dan Gituan

    Kamu pernah “Gituan” nggak?

    Saya bingung, kenapa kalo kita ngomong kata “Gituan” yang terbayang pasti “Gituan”? 😊😀

    Padahal “Gituan” itu apa sih?

    “Gituan” kan bukan kata yang bersalah, kenapa gak boleh diucapin?

    Untuk menjaga nama baik kata “Gituan”, coba kalo kita sepakati bahwa kata “Gituan” itu artinya “Makan”.

    Jadi kan gini…

    “Aduh perut saya sakit nih! Hari ini saya belum gituan…”

    “Biar enggak lemes, sebaiknya kita gituan 3 kali sehari!”

    Ingat ya, “Gituan” itu artinya “Makan”!

    Atau misalnya mau ngajak pasangan / pacarnya “Makan”.

    “Sayang, entar malem kita ‘gituan’ yuk!
    Aku tahu tempat paling enak buat ‘gituan’.
    Di kafe itu banyak orang pada ‘gituan’ di sana. Lagian harganya murah.
    Paling kalo kita ‘gituan’ 2 kali, bayarnya gak sampe 100 ribu”

    Jadi mulai sekarang kata “Gituan”
    itu artinya “Makan”.

    Betapa indahnya selalu berpikir positif. Ya nggak? 😁

    *****

    Satu lagi kata yang nggak bersalah yaitu kata “Anu”.

    Sebenarnya “Anu” itu apa sih? Kenapa kalo saya ngomong
    “Anu”, yang kebayang pasti “Anu”?
    😜

    Apa itu “Anu”?

    Untuk menjaga nama baik kata “Anu”,
    mari kita sepakati bahwa kata “Anu” itu artinya “Kepala”.

    Jadi kan orang bisa ngomong gini…

    “Wah ‘Anu’ kamu gede banget sih!” 😊😀😄

    “Kemarin katanya ‘Anu’ kamu kejedot pintu ya?
    Coba sini aku periksa ‘Anu’-nya!”

    😊😊😀

    Ingat ya, “Anu” itu artinya “Kepala”.

    “Nanti kalau kamu naik motor, ‘Anu’ kamu pake helm ya!”

    “Hei bro! Kok ada ketombe sih di ‘Anu’ kamu?”

    “Sayang… Boleh gak aku elus ‘Anu’ kamu?”

    Tanamkan dalam pikiran kamu bahwa kata “Anu” dan “Gituan” bukanlah kata yang jorok! ☺

    Indahnya selalu berpikir positif….
    😎😀👍

    Selamat Gituan ya teman, biar Anu-nya gak nyut-nyutan…

    🤣🤣🤣🤣🤣
    Indahnya Berbagi
    😀

    Sumber: Grup WhatsApp

    Mohamed Salah

    Mohamed Salah membawa bola begitu cepat. Pada suatu detik, ia dijegal dari belakang. Ia jatuh. Lalu bangkit berdiri. Tapi segaris senyum masih ada di wajahnya. Bahunya terangkat dan tangannya memberi isyarat yang bisa ditafsirkan “apa boleh buat”.

    Dibandingkan dengan para pemain lain yang marah bila kena, atau terjungkal, atau mengaduh-aduh bila terganjal, Mohamed Salah asal Nagrig, Mesir ini meletakkan dirinya dalam satu kategori lain. Dialah sang superstar.

    Salah pasti tahu ratusan juta mata menyaksikan dan menilainya di pertandingan itu. Ia tahu lapangan hijau Stadion Anfield, Liverpool adalah pentasnya yang paling anggun.

    Dia toh tahu dia bukan pemain yang bakal tidak tercatat dalam sejarah sepak bola dunia. Dalam usianya yang 25 tahun, dialah justru si pembuat tugu sejarah: kesebelasan Liverpool mendekati posisi ke final di kota Kiev.

    Tidak mudah untuk terganjal jatuh tapi tersenyum. Salah bagaikan Mozart di lapangan bola. Kerja bola yang kasar diolahnya menjadi _repertoir_ yang indah. Operan Salah demikian indah, memikat, dan enak disantap. Dari dia, bola jatuh persis di depan kaki rekan-rekannya, seakan tidak luput satu milimeter pun.

    Rabu dini hari WIB itu Salah dengan sangat menawan mencetak dua gol. Ia juga menyumbang dua assist untuk rekannya Mane dan Firmino.

    Ketika Stadion Anfield pecah dengan sorak sorai bergemuruh karena dua gol Salah yang bersarang di gawang AS Roma. Ia terlihat menundukkan kepala dan menolak selebrasi yang berlebihan. Ia nampak masih menghormati bekas klubnya yang dulu memberinya nafkah.

    Komentar pers Inggris menggambarkan Salah sebagai pemain besar yang bergaya hidup baik dan rendah hati. Ia tak pernah sekali pun nongkrong di bar-bar melewatkan malam dengan bercinta dengan foto model-foto model setempat. Di dalam pesawat di setiap perjalanan pulang ke Inggris setelah laga kemenangan ia tak berulah seperti rekan-rekannya yang mabuk-mabukan. Di dalam pesawat, ia membaca kitab suci Al Qur’an sambil ditemani secangkir kopi susu panas. Demikian juga setiap acara kunjungan dari para istri atau teman wanita di hotel, Saleh selalu dikunjungi istrinya Magi yang selalu tampil cantik berhijab dan anaknya Makka (4 tahun).

    Maka fan Liverpool tidak hanya memuji Salah sebagai penyerang hebat. Tapi mereka juga menyatakan diri bakal menjadi Muslim dan ikut aktif bersama Salah di masjid (TEMPO_, 4/3/2018). Bahkan pelatihnya sekarang, Juergen Klopp, mengatakan bahwa Salah adalah pemain bintang, yang membaca kitab suci agamanya dan mengamalkannya serta mempraktikkan hukum-hukumnya.

    Di Mesir, Salah menjadi idola anak-anak muda. “Aku ingin seperti Mohamed Salah ketika besar nanti,” ujar Mohamed Abdel, bocah berusia 12 tahun dari desa Nagrig. Dan berkat bola, Salah mampu membangun rumah sakit modern di desanya Nagrig serta memberikan bantuan untuk pendidikan kaum papa di desa asalnya Nagrig dan Mesir.

    Di Inggris, fan Liverpool dengan riang berteriak bersama-sama: Assalamu’allaikum, Salah, we need you!

    Ketika di mana dakwah dengan sikap dan tindakan lebih dibutuhkan dari pada dengan lisan..

    Maka, dakwah dengan ahlak dan adab yang baik bisa mengalahkan 1000 majelis ilmu tentang ahlak.

    Orang menyebutnya sebagai
    k e t e l a d a n a n.

    Sumber: Grup WhatsApp

    Jika Tuhan absen di ranjang

    Terus terang, wajah-wajah pelangi, bertebaran di sekitar saya. Yang satu ini, bodinya laki tapi berbusana wanita. Pagi-sore kerja jadi pemandu wisata, malam berasyik masyuk bukan dengan pasangan sah pernikahan. Sama pacarnya. Laki-laki tentu saja. 

    .

    Satu lagi, masih berbodi laki-laki. Berpakaian juga layaknya laki-laki. Cakep sih enggak, bodi atletis juga sama sekali tidak. Tapi, melambai iya. Dia laris manis sebagai host di berbagai acara seremonial. Celetukannya yang lucu, ditambah gaya melambainya, menjadi daya jual. “Ih, geli sama dia, takut saya,” tukas seorang teman laki-laki yang pernah menginap dengannya. Oh, baru tahu saya, kalau orientasi ranjangnya pelangi.

    .

    Satu lagi, laki-laki ganteng, putih dan atletis. Sayangnya, sejak kecil lebih suka permainan perempuan. Kurang suka bermain dengan laki-laki. Sekarang bisnis salon, dengan pelanggan yang mayoritas perempuan. Melambai tentu saja. Saya tak berani menebak urusan ranjangnya. Tapi yang saya tahu, dia belum menikah juga.

    .

    Ada lagi yang satunya,…ah…cukuplah. Yang jelas, kaum pelangi ini ada di sekitar kita. Kian banyak, karena keberhasilan propaganda mereka. Ya, mereka itu bukan ada begitu saja. Tidak lahir tiba-tiba. Nongol dari sononya. Mereka juga gigih berupaya. 

    .

    Saya jadi ingat, hari ini, sebelas tahun lalu. Tepatnya 20 Desember 2006, Budayawan Taufik Ismail, pernah berpidato dengan judul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka.“ Beliau mengingatkan gelombang yang dihembuskan oleh Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Gerakan itu tak bersosok organisasi resmi yang berdiri sendiri, tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia untuk merusak moral masyarakat. Didanai kapital raksasa, ideologi neoliberalisme dan media cetak serta elektronik sebagai corongnya. 

    .

    Sedikitnya ada 13 komponen yang melahirkan gelombang GSM. Yakni: (1) para praktisi –baik pribadi maupun kelompok– perilaku seks bebas. (2) Penerbit majalah dan tabloid mesum. (3) Produser, penulis skrip dan pengiklan acara televisi syahwat. (4) Jutaan situs porno dunia. (5) Penulis, penerbit dan propagandis buku syahwat, sastra dan nonsastra. (6) Penerbit dan pengedar komik cabul. (7) Produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD biru. (8) Pabrikan dan konsumen alkohol. (9) Produsen, pengedar dan pengguna narkoba. (10) Pabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin. (11) Pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. (12) Germo dan pelanggan prostitusi. (13) Dokter dan dukun praktisi aborsi.

    .

    Inilah yang menghantam Indonesia, hingga mengalami kehancuran moral. Itu juga yang menginspirasi saya menulis buku “Indonesia Dalam Dekapan Syahwat” pada tahun 2007. Jangan ditanya, isinya sangat porno. Maksudnya, mengupas habis revolusi urusan ranjang: dari ruang kamar ke ruang publik. 

    .

    Kini, gerakan itu tampaknya mulai menunjukkan hasil. Syahwat telah merdeka. Merdeka dari apa? Dari aturan agama (baca: Islam). Lihatlah, jika dulu orientasi seksual itu hanya satu: laki-laki vs perempuan. Itupun harus melalui pernikahan yang sah. Titik. Kini, aneka jenis orientasi seksual bebas merdeka. Ada yang menyebut jumlahnya 7, 10, 13 hingga 50 jenis. 

    .

    Mulai homoseksual, lesbian, biseksual, transgender, pedofilia, ekshibisionisme, voyeurisme, fetishisme, bestially, incest, necrophilia dll. Apaan tuh? Ngeri ah, kalau dijabarin. Di luar negeri lebih gila. Sudah ada orientasi seksual dengan hewan atau benda mati. Anjing, kucing, boneka, pohon, bahkan tembok. Tak tanggung-tanggung, mereka nikahi itu benda-benda konyol sebagai pasangan sehidup semati. 

    .

    Itulah efek liberalisasi. Sebuah kekuatan global yang membebaskan negara, masyarakat, keluarga hingga individunya, dari aturan agama. Sekulerisme. Neoliberalisme. Indonesia sendiri, nggak mau disebut negara agama, karena faktanya memang sekuler. Akhirnya, mengatur masyarakat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak bersumber dari agama. Makanya kalau ada yang menawarkan agama sebagai sumber untuk mengatur negara, ogah. Walaupun, sila pertama Pancasila bunyinya Ketuhanan Yang Maha Esa. Praktiknya, kebebesanlah yang maha esa.

    .

    Dengan dalih kebebasan, atau bahasa kerennya hak asasi manusia (HAM), masyarakat akhirnya juga bergaul dengan membebaskan diri dari agama. Buktinya, ketika agama bilang jangan berzina, eh, berzina. Jangan aborsi, eh aborsi. Jangan homoseksual; eh malah terbit kaum pelangi yang tak dirindukan.

    .

    Lah, bukannya Indonesia negeri Muslim terbesar di dunia? Betul. Umat Indonesia rata-rata punya agama. Tercantum di KTP-nya. Tapi, meminjam istilah Ustaz Abdul Somad, Tuhan saat ini dipenjara di masjid-masjid. Kalau di masjid takut Tuhan, di luar masjid Tuhan dianggap nggak ada. Di masjid baik, di luar masjid bebas. Di dalam masjid menutup aurat, keluar masjid langsung buka aurat. Itu menghina Tuhan. Seolah Tuhan hanya eksis di tempat ibadah.

    .

    Ya, manusia jadi gak takut Tuhan. Di kantor gak ada Tuhan, terjadilah perselingkuhan. Di pasar gak ada Tuhan, mainin aja timbangan. Di birokrasi gak ada Tuhan, makanya korupsi dianggap rezeki. Di rumah gak ada Tuhan, makanya anak pun dijadikan korban syahwat; istri dimutilasi; ponakan disodomi, dll. Di kamar gak boleh ada Tuhan, makanya adegan mesum pun disebar-luaskan. Dan, sampailah kini pada urusan paling privat manusia: orientasi ranjang. 

    .

    Tuhan pun disingkirkan dari sana. Maka, ketika Tuhan absen di ranjang, muncullah beraneka kebebasan seksual yang liar. Mau menggoyang ranjang dengan siapa, kapan dan di mana terserah. Mau dengan lawan jenis, sejenis atau jenisnya tak jelas, terserah. Bahkan dalam banyak kasus, pelampiasan urusan ranjang ini pun, tak lagi membutuhkan ranjang dalam makna sebenarnya. Semak-semak, mobil, warung remang-remang, toilet umum, bahkan ruang kelas pun jadi tempat peragaan syahwat. Na’udubillahi minzalik.

    .

    Karena tak memakai aturan Tuhan, kaum pelangi tak mau dikriminalisasi. Dalam kamus liberal, itu hak asasi. Padahal dalam kamus agama apapun, apalagi Islam, jelas-jelas bahwa itu kriminal. Segala bentuk penyimpangan dari perintah Allah SWT adalah jarimah atau kriminalitas. Meninggalkan salat lima waktu, jarimah. Menanggalkan hijab, jarimah. Berzina, jarimah. Elgebete, jarimah. 

    .

    Jadi jelas kan, kenapa kaum Sodom ini bisa eksis. Mereka juga berjuang, kawan! Perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk diakui eksistensinya. Ditambah ada para pembela, plus sistem hukum yang membiarkan, negara yang juga membebaskan, eksistensi mereka kian merajalela. Masih ingat bagaimana polisi menggerebek pesta gay di salah satu hotel di Jakarta? Apakah mereka dihukum agar jera? Tidak. Karena Tuhan pun dipaksa absen dari aturan. 

    .

    Hasilnya, lihatlah Indonesia sekarang. Lebih “Amerika” dari Amerika. Jika di negeri Paman Sam itu sendiri, kaum pelangi butuh kurang lebih 50 tahun hingga pernikahan sejenis dilegalkan, Indonesia boleh jadi tak lama lagi. Tunggu saja. Kalau kita semua diam. Kalau pendukung kaum pelangi menang. Kalau dakwah dibungkam. Kalau aturan agama dibuang. Jika Tuhan dipaksa absen dalam setiap lini kehidupan. Termasuk absen dari urusan ranjang. Mau seperti itu? Naudubillahi min zalik.(*)

    .

    Bogor, 20 Desember 2017

    Oleh Asri Supatmiati

    Jurnalis

    Neither Sukarnov nor Suhartov

    Andaikan setelah meninggal kelak saya dilupakan orang, insyaallah itu lebih menguntungkan dibanding diingat-ingat, dikenang, apalagi dipuja-puja. Sebab prosentase dosa hidup saya lebih besar dibanding kebaikan saya. Dipuja mustahil, dikenang pasti: oleh anak istri dan keluarga saya. Tapi kalau diingat-ingat, agak mengkhawatirkan, saking banyaknya dosa saya.
    Tetapi sejumlah orang Indonesia dikenang manis, diingat-ingat kebaikannya, serta terkadang dipuja-puja – meskipun kadar dan kedalamannya berbeda-beda. Misalnya Bung Karno adalah kenangan manis dan penuh kebanggaan. Pak Harto ada yang kagum ada yang mengutuk, sebagaimana Gadjah Mada. Kalau ditanya bagaimana kesan tentang Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Kasman Singodimejo, Syaikhona Kholil, anak-anak muda sekarang menoleh ke kanan kiri dengan wajah bengong.
    Kalau mengingat Gus Dur, biasanya orang lantas tersenyum, tertawa, atau bahkan tertawa cekikian dan geleng-geleng kepala. Ketika saya tempuh sejumlah proses menuju Gus Dur jumenengan Presiden, saya persyarati dua hal. Pertama, masalah Aceh dan GAM harus beres. Kedua, sebagai pemimpin Negara jangan ada lagi persambungan dengan Kanjeng Ratu Kidul (Nawang Wulan) maupun Nyi Roro Kidul (Nawang Sih) saudara kembarnya.
    Gus Dur bilang dia sudah kirim SMS ke Kanjeng Ratu Kidul. Saya jengkel oleh jawabannya. “SMS gimana?”. Gus Dur menjawab sambil membaringkan badan ke Kasur: “Saya suruh dia pakai jilbab…”. Kemudian beliau tertawa xixixixi dan sesaat kemudian memejamkan mata dan tertidur. Saya pegang kepala saya dan saya jambak rambut saya. Saya yakin Einstein, Bheethoven, Bill Gates, bahkan pun Ned Kelly sampai di tiang gantungan tak pernah memasuki wilayah imajinasi seliar Gus Dur.

    Orator terdahsyat yang pernah saya jumpai, alami dan saksikan langsung adalah almarhum Ustadz Yasin Hasan Abdullah Bangil. Seorang lelaki gagah, sabuk tebal model tukang sate Madura di pinggangnya, vokalnya gabungan antara Bung Karno, Sultan Hamengkubuwono IX, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri dan Nabi Dzulqornain. Dia berpidato menggambarkan betapa pasukan Belanda gemetar badannya hanya ketika melihat gambar surban putih Pangeran Diponegoro. 
    “Hanya surbannya, Saudara-saudara”, suaranya lantang membelah angkasa, “baru 

    surbannya. Belum jubah putihnya yang bergerai menembus angin di atas kudanya yang gagah. Kerajaan Belanda hampir bangkrut gara-gara pemberontakan Pangeran Diponegoro dengan surbannya. Saudara-saudara, bisakah kau bayangkan Diponegoro pakai helm…?”
    Gus Dur bukan orator yang gagah penampilannya. Gus Dur adalah tipe Juara Favorit. Tetapi imajinasi tentang Ratu Kidul pakai Jilbab dan Pangeran Diponegoro pakai helm, menurut saya termasuk yang harus kita monumenkan di World Hall of Fame. Apalagi ketika pagi hari pukul 08.00 sesudah malamnya beliau di-impeachment saya dan istri datang ke Istana sebelum tamu-tamu lainnya, dan saya tanya: “Ngapain to Gus kok bikin Dekrit segala?”
    Gus Dur menjawab enteng: “Lha sudah lama sekali ndak ada Dekrit, Cak. Terakhir kan tahun 1959”.

    Saya kejar, “kok ndak Sampeyan hitung segala sesuatunya. Saya kan nunggu Sampeyan telepon, siapa tahu saya pas punya bahan untuk turut mempertimbangkan perlu Dekrit atau formula lain?”
    Gus Dur menjawab lebih enteng lagi dengan Bahasa Jombang: “Cak jenenge teplèk iku yo kadang menang kadang kalah. Biasane nek mulih isuk kemul-kemul sarung, berarti menang. Nek kalah malah mulih pakaian rapi, cèk diarani menang”. “Cak, namanya juga judi, kadang kalah kadang menang. Biasanya kalau pulang judi berselimut sarung itu tanda menang. Kalau kalah judi, pulang ke rumah berpakaian rapi, supaya orang menyangka dia menang…”
    Tony Koeswoyo menulis lirik seolah-olah untuk Gus Dur: “Terlalu indah dilupakan, terlalu sedih dikenangkan…”. Tetapi semua orang punya rasa rindunya masing-masing kepada Bapak-Bapak kita terdahulu. Juga Gus Dur. Ada yang mengabarkan kepada saya bahwa Gus Dur sampai hari ini belum berangkat ke Alam Barzakh. Beliau masih berada di Tebuireng. Ada masalah prosedural yang belum bisa diatasi, terkait dengan administrasi Malaikat Munkar dan Nakir.
    Kalau penziarah terakhir sudah meninggalkan kuburan kita sejauh 70 langkah, baru Malaikat Munkar dan Nakir hadir untuk berurusan dengan si ahli kubur. Lha sudah sekian tahun orang-orang yang menziarahi makam Gus Dur tak pernah reda. Belum pernah ada momentum penziarah terakhir meninggalkan kuburan 70 langkah. Jadi sekian tahun ini Gus Dur hanya berpandangan dari jauh dan saling melambaikan tangan dengan Malaikat Munkar dan Nakir.
    Mungkin karena bosan, terkadang Gus Dur ke luar ke jalan besar antara Jombang-Pare. Lihat-lihat situasi. Dan yang paling menarik adalah banyak truk-truk yang di bak belakang atau samping ada foto Pak Harto dengan kalimat “Piye kabarmu, Lé? Penak zamanku tho?”. Apa kabar kalian, Nak? Lebih enak hidup di zaman saya dulu kan?
    Itu membuat Gus Dur sangat kangen dan ingin segera mencari Pak Harto. Nanti di alam sana syukur-syukur juga ketemu Bung Karno, Sunan Kalijaga, atau malahan Gorbachev dan Anton Chekhov. Andaikan ketemu Ken Arok dan Gadjah Mada. Gus Dur mau konfirmasi kepada Ken Arok: “Apa dulu di bumi, Sampeyan ini benar-benar ada? Jangan-jangan Sampeyan ini hanya dikarang oleh para penjajah, supaya bangsa Indonesia merasa masa silamnya buram dan tak punya idola di antara nenek moyangnya”. Kepada Gadjah Mada juga Gus Dur bertabayyun: “Apa benar Sampeyan dulu mencegat rombongan Prabu Siliwangi? Kok ndak SMS saya dulu tho?”
    Tetapi tampaknya yang paling diinginkan Gus Dur adalah bercerita kepada Pak Harto tentang truk-truk itu. Dan kalau Pak Harto bertanya “apa benar rakyat daripada Indonesia sekarang menganggap zaman saya lebih baik dibanding daripada zaman sekarang?”. Gus Dur, saya perkirakan menjawab: “Benar sekali itu Pak Harto. Selama Orla rakyat kita punya Pak Karnov. Di zaman Orba mereka punya Pak Hartov. Lha di ujung Reformasi palsu sekarang ini rakyat dibikin retak-retak kepalanya oleh Pak Setnov… Apalagi menurut para analis, jumlah Setnov di Indonesia tidak satu, melainkan sangat banyak, dengan kaliber yang berbeda-beda. Pendidikan keindonesiaan beberapa puluh tahun terakhir ini menumbuh-kembangkan potensi Setnov di dalam jiwa dan mental bangsa…”
    Kalau Pak Harto tampak prihatin wajahnya mendengar itu dan nyeletuk: “Lho kok malah Amar Munkar Nahi Nakir”,  Gus Dur menghiburnya: “Sudah tho Pak. Gitu aja kok repot..”. 
    By: Emha Ainun Najib

    Sumber: https://m.timesindonesia.co.id/read/157814/20171002/113206/neither-sukarnov-nor-suhartov-amar-munkar-nahi-nakir/#!-_-

    Yogya, 2 Oktober 2017